DetikNusantara.co.id – Aksi di sejumlah negara – Indonesia, Nepal, dan Prancis – belakangan ini identik dengan para anak muda yang menyematkan ikon One Piece ketika turun ke jalan. Dari bendera Jolly Roger hingga topi jeraminya terlihat di tengah massa aksi. Ada apa dengan dunia hingga para nakama bergerak?
Melansir dari BBC News Indonesia, sosiolog Okky Madasari berkata banyak pengalaman hidup yang dialami anak muda saat ini: tekanan ekonomi, sensor digital, birokrasi yang absurd, hingga pelecehan kekuasaan.
“Budaya pop menjadi jembatan antara kemarahan mereka dengan bentuk ekspresi yang bisa dipahami semua orang,” ucap Okky kepada wartawan Riana Afifah yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (11/9/2025).
“Cukup angkat bendera One Piece, dan semua orang tahu: “kami muak, kami melawan.”
Dari Nepal dan Prancis juga menemukan gerakan kali ini dimotori anak-anak muda.
Mereka lelah dengan kondisi negara dan masyarakat disebabkan kebijakan pemerintah yang tidak adil dan memperlebar kesenjangan antara rakyat yang kian melarat dengan pejabat yang doyan pamer harta.
Cerita One Piece dengan tokoh sentral, Monkey D. Luffy dan para krunya menjadi agensi dalam melawan kekuatan-kekuatan opresif yang menimbulkan ketidakadilan.
Problematikanya pun seputar korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, kesenjangan sosial dan ekonomi, penindasan, hingga gejala otoritarianisme.
Kemunculan bendera Jolly Roger dalam aksi di Indonesia, Nepal, dan
Sebab, konteks dalam karya Eiichiro Oda ini beresonansi dengan suara anak muda di berbagai negara tersebut.
Sebelum One Piece ramai menjadi simbol, ada juga simbol salam tiga jari yang khas dari film Hunger Games digunakan ketika aksi di Thailand pada 2020.
Di Korea Selatan, lightstick yang biasa mewarnai konser K-Pop juga menjadi simbol ketika
pemakzulan presiden pada 2024.
Apa yang mirip dari situasi di Indonesia, Nepal, dan Prancis?
Sastrawan sekaligus sosiolog Okky Madasari menelaah ada kemiripan persoalan yang terjadi sehingga memantik anak muda bergerak.
“Kesenjangan ekonomi, kebebasan sipil yang ditekan, dan elite yang tak tersentuh,” ujar Okky.
Di Indonesia, puncaknya terjadi usai gaji dan tunjangan anggota DPR yang mencapai lebih dari Rp100 juta terungkap ke publik.
Di tengah badai pemutusan hubungan kerja dan kesulitan mencari pekerjaan, penghasilan pejabat yang berkali-kali lipat dari upah minimum berbagai provinsi ini menimbulkan kemarahan.
Bukan memperoleh tanggapan, masyarakat disuguhi ucapan dan tindakan yang menyakitkan dari para pejabat.
Rentetan permasalahan dari program populis eksekutif, pajak yang naik ratusan persen, hingga efisiensi anggaran yang selama ini ditahan menjadi terakumulasi.
Jatuhnya 10 korban jiwa, penangkapan sejumlah orang, dan beberapa orang yang masih hilang menimbulkan eskalasi situasi sehingga gerakan menyebar dari Jakarta, Yogyakarta, Medan, Makassar, Bali, Semarang, Bandung, Padang, dan sejumlah daerah lainnya.
Tanggapan pemerintah hanya berupa maaf dan pengurangan tunjangan anggota DPR.
Deretan tuntutan lainnya belum ada yang ditindaklanjuti.
Di Nepal, puncak amarah dipicu pemblokiran 26 aplikasi media sosial, termasuk Facebook dan YouTube.
Sebelum terjadi pemblokiran, media sosial di sana ramai membicarakan mengenai “nepo kid” yang berisi gaya hidup mewah para anak politisi dan tudingan korupsi.
Akibat dari ditutupnya akses media sosial ini, ribuan anak melancarkan aksi bahkan menyerbu parlemen di Kathmandu, ibu kota Nepal, pada Senin (08/09).
Media sosial kembali dibuka setelah 19 orang tewas. Namun, aksi belum reda.
Perdana Menteri Nepal, K.P. Sharma Oli pun mengundurkan diri disusul Presiden Nepal Ramchandra Paudel.
Alih-alih mereda, massa membakar gedung parlemen, mendatangi rumah para pejabat untuk menjarah.
Total korban hingga Kamis (11/09) mencapai 34 orang. Darurat militer kini diterapkan.
Persoalan utama di Nepal ini adalah korupsi, terbatasnya lapangan kerja, dan kesenjangan sosial.
Seorang pengunjuk rasa, Sabana Budathoki sebelumnya mengatakan bahwa larangan media sosial adalah “hanya alasan” mereka berkumpul.
“Ketimbang larangan media sosial, saya pikir fokus semua orang adalah pada korupsi. Kami ingin negara kami kembali. Kami datang untuk menghentikan korupsi.” ujarnya.
Di Prancis, gerakan “bloquons tout” atau “blokir semuanya” ini sudah disebarluaskan sejak Mei 2025 pasca kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan Perdana Menteri Prancis Francois Bayrou dan berdampak pada sektor pelayanan publik.
“Sudah disebar lewat telegram sejak Mei,” ucap Gita Ayudya yang sudah belasan tahun tinggal di Prancis.
Mobilisasi berantai melalui pesan antar masyarakat ini kemudian mengundang minat partai ekstrim kiri memberikan dukungan pada pertengahan Agustus 2025.
Selain efisiensi anggaran, maraknya pemutusan hubungan kerja di Prancis juga memicu amarah publik.
Protes yang dilakukan Rabu (10/09) ini sesuai dengan nama gerakannya yaitu memblokir semua akses pelayanan publik.
Para anak muda bahkan menutup sekolahnya sebagai bentuk aksi di beberapa wilayah, seperti Paris, Toulouse, Marseille, Lyon, Nantes, Rennes, dan Grenoble.
Gerakan ini diikuti 200 ribu orang di 700 titik unjuk rasa. Sehari sebelum aksi, parlemen mengeluarkan mosi tidak percaya sehingga Bayrou lengser.
Presiden Prancis Emmanuel Macron menggantinya dengan Sebastien Lecornu yang juga satu kubu dengannya.
Aksi yang sudah direncanakan pada 10 Septembee pun tetap berlanjut. Sebanyak 540 orang ditangkap polisi.