Uncategorized

Asas Ultimum Remedium dan Kewajiban Rehabilitasi: Analisis Peran Penyidik dalam Perkara Narkotika tanpa Barang Bukti

×

Asas Ultimum Remedium dan Kewajiban Rehabilitasi: Analisis Peran Penyidik dalam Perkara Narkotika tanpa Barang Bukti

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Dalam perspektif hukum acara pidana, penyidik wajib bertindak berdasarkan prinsip legalitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Apabila dalam suatu penangkapan tidak ditemukan barang bukti sabu, maka penyidik tidak boleh serta-merta melakukan kriminalisasi dengan konstruksi pasal peredaran narkotika, melainkan harus memastikan apakah terdapat bukti ilmiah (scientific evidence) yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Scientific evidence di era digital antara lain dapat berupa rekaman percakapan elektronik, chat handphone, aliran transaksi keuangan, atau dokumen digital lainnya yang menunjukkan keterlibatan subjek hukum dalam peredaran sabu. Namun, apabila bukti tersebut tidak ditemukan, dan hanya terdapat indikasi penggunaan tanpa barang bukti, maka asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) harus dikedepankan.

 

Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah menegaskan kewajiban rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan. Oleh karena itu, dalam situasi tanpa barang bukti sabu maupun tanpa scientific evidence yang membuktikan peredaran, penyidik wajib mengarahkan perkara kepada mekanisme rehabilitasi, bukan proses pidana penjara.

 

Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip ultimum remedium, yakni hukum pidana digunakan sebagai sarana terakhir, serta sejalan dengan paradigma hukum progresif yang menempatkan keadilan substantif di atas keadilan prosedural. Dengan demikian, penyidik bukan hanya menegakkan teks hukum secara kaku, tetapi juga menyeimbangkannya dengan tujuan hukum yaitu perlindungan hak asasi manusia, kemanusiaan, serta pemulihan sosial.

 

Selanjutnya, tanpa adanya barang bukti sabu maupun bukti ilmiah lain seperti chat jual beli, tidak terpenuhi unsur actus reus maupun mens rea dari tindak pidana peredaran narkotika. Dalam kondisi demikian, penyidik secara yuridis maupun etis wajib memproses yang bersangkutan melalui rehabilitasi medis dan/atau sosial sebagai sarana pemulihan, bukan penghukuman.

 

Tim Asesmen Terpadu (TAT) sebagai Basis Normatif Kewajiban Penyidik dalam Penanganan Penyalahguna Narkotika

 

Dalam konstruksi hukum pidana modern, setiap tindakan penyidik harus berlandaskan pada asas legalitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Dalam perkara narkotika, khususnya ketika penangkapan dilakukan tanpa ditemukan barang bukti sabu maupun scientific evidence seperti chat, transaksi keuangan, atau komunikasi elektronik yang mengindikasikan peredaran, maka proses hukum tidak boleh diarahkan pada kriminalisasi peredaran. Ketiadaan bukti material maupun bukti digital mengakibatkan unsur actus reus dan mens rea tindak pidana peredaran tidak terpenuhi, sehingga asas nullum crimen sine lege certa dan presumption of innocence harus dijunjung tinggi.

 

Dalam situasi demikian, Tim Asesmen Terpadu (TAT) menjadi instrumen krusial. TAT yang terdiri dari unsur penyidik, jaksa, Badan Narkotika Nasional, serta tenaga medis dan psikolog, berfungsi memberikan penilaian komprehensif apakah seseorang merupakan pecandu, korban penyalahgunaan, atau justru terindikasi pengedar. Apabila hasil TAT menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah pengguna atau korban penyalahgunaan narkotika, maka penyidik secara hukum wajib mengarahkan proses ke rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

 

Dengan demikian, hasil TAT tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga memiliki daya ikat yuridis dalam menentukan arah kebijakan penegakan hukum. Mengabaikan hasil TAT dan tetap memaksakan kriminalisasi berarti melanggar asas fair trial dan berpotensi menimbulkan disparitas hukum antarperkara sejenis. Sebaliknya, menjadikan hasil TAT sebagai dasar rehabilitasi justru memperkuat prinsip diferensiasi perlakuan (differential treatment) antara pengguna dengan pengedar, serta menegakkan paradigma ultimum remedium dalam hukum pidana narkotika.

 

Lebih jauh, keberadaan TAT juga merupakan pengejawantahan pendekatan interdisipliner dalam hukum pidana, di mana aspek medis, psikologis, dan sosial dipadukan dengan aspek yuridis. Hal ini sejalan dengan konsep restorative justice yang menempatkan pemulihan individu dan masyarakat sebagai tujuan utama, bukan sekadar penghukuman.

 

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa dalam perkara narkotika di mana tidak ditemukan barang bukti sabu maupun scientific evidence peredaran, hasil TAT menjadi instrumen normatif yang mengikat penyidik untuk menetapkan jalur rehabilitasi. Hal ini bukan saja perintah undang-undang, melainkan juga refleksi dari politik hukum pidana yang humanis, proporsional, dan berkeadilan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *