PROBOLINGGO,DetikNusantara.co.id – Ramai diperbincangkan publik soal perubahan Peraturan Daerah (Perda) akan dibukanya hiburan malam di Kota Probolinggo, sepeti karaoke, club malam, bar, diskotik dan panti pijat.
Sebelumnya, Wakil Ketua I DPRD Kota Probolinggo, Abdul Mujib, meminta agar publik tidak cenderung negatif adanya perubahan Perda Nomor 4 Tahun 2023 tersebut.
Perubahan Perda itu sejatinya mengacu pada Pasal 25 Ayat (1) huruf k yang disesuaikan dengan Pasal 555 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022.
Mujib menyampaikan, banyak yang salah kaprah karena menilai perda ini hanya membahas izin tempat hiburan. Padahal, judul besar Perda tersebut adalah Peraturan Daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Yang di dalamnya tidak hanya mengatur soal diperbolehkannya kembali tempat hiburan di Kota Probolinggo.
MUI Kota Probolinggo Bersikap Tegas, Terkait Penetapan Perubahan Perda
Pro dan kontra terus terjadi. Kini Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Probolinggo, juga dengan tegas menyikapi hal tersebut.
MUI secara resmi menolak rencana Pemerintah Daerah yang memasukkan tempat hiburan seperti panti pijat, diskotIk, karaoke, bar, dan club malam sebagai subjek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) dalam perubahan Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah.
Bagi MUI, langkah ini bukan sekadar soal pendapatan daerah, melainkan sebuah bentuk legitimasi halus terhadap praktik yang mereka nilai merusak moral masyarakat.
Dalam konferensi persnya yang digelar tegas pada Jumat (10/10/2025), MUI tidak hanya menyampaikan keberatan, tetapi juga mengungkapkan sebuah kontradiksi hukum yang tajam.
MUI mencium adanya inkonsistensi kebijakan dengan mengangkat Pasal 16 Perda Nomor 9 Tahun 2015 yang justru secara gamblang melarang operasional diskotek, klab malam, dan panti pijat.
Keberadaan jenis hiburan ini berpotensi kuat menimbulkan kemaksiatan, merusak moralitas masyarakat, serta bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma sosial Kota Probolinggo.
Sikap ini menempatkan MUI Probolinggo pada posisi yang jelas, yakni menghormati kewenangan fiskal daerah, tetapi menolak kompromi dalam hal prinsip.
MUI menegaskan bahwa pengenaan pajak terhadap bisnis yang secara substansi dianggap amoral dapat disalahtafsirkan sebagai bentuk pengakuan dan pelegalan oleh daerah.
Pernyataan sikap ini menjadi sebuah teguran publik yang jarang terjadi. MUI Probolinggo tidak lagi hanya berbicara dalam mimbar-mimbar keagamaan, tetapi turun langsung ke gelanggang kebijakan publik dengan argumen hukum dan sosial.