Oleh: Sibro Malisi (Anggota DPRD Kota Probolinggo)
PROBOLINGGO,DetikNusantara.co.id – Pada pertengahan bulan Juni atau selambat – lambatnya akhir bulan Juni 2025, Pemerintah Kota Probolinggo mendapatkan atensi dari Pemerintah Pusat. Melalui berbagai surat dari Kementerian Dalam Negeri RI.
Permintaanya adalah segera menyesuaikan Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yg ada dengan Undang Undang No 1 tengang HKPD.
Pemerintah Kota lalu berkirim surat kepada DPRD untuk dilakukan pengesahan revisi Perda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Khusus Perda tentang PRD Ini berbeda dengan Raperda lain, perlu mendapatkan persetujuan dan assesment langsung dari Kementerian Keuangan RI dan Kementerian Dalam Negeri RI jika mau merevisi.
Nah, asal muasal kenapa perda yang sudah ada wajib dilakukan revisi. Saya yg kebetulan anggota Bapemperda Mendapatkan disposisi Pimpinan DPRD untuk dilakukan penyesuaian.
Semula, Perda itu cukup langsung disahkan tanpa masuk makenisme Propemperda (Permintaan eksekutif) tapi karena tetap merubah perda, maka forum Bapemperda kala itu bersama eksekutif memutuskan untuk tetap dibahas berdasama eksekutif salam sebuah rangkaian pembahasan raperda menjadi perda.
Dalam perjalanannya, maka dibuatkan lah panitia khusus pembahasan raperda tersebut. Jadi, diawali dengan urgensi perintah dari pemerintah pusat agar segera menyesuaikan dengan Undang – Undang HKPD.
Dalam UU HKPD, khususnya Pasal 23 ayat (1) ditegaskan: Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Jika saja tidak dilakukan pembahasan maka bisa jadi DPRD tidak mengetahui. Pengenaan pajak tinggi pada jenis hiburan tertentu bagian dari pengendalian tempat hiburan, justru dapat menutup ruang kegiatan yang dianggap berpotensi negatif, seperti hiburan malam.
Tarif yang tinggi justru menutup ruang investor untuk membuka usaha hiburan. Sebagai contoh, tarif 75% pada diskotik atau karaoke bisa membuat pelaku usaha enggan beroperasi secara formal.
Yg perlu disikapi mungkin jika memang benar benar ‘Tidak Setuju’ adanya kegiatan usaha yang berkedok warung tapi menyediakan tempat hiburan. Kalau mau membuka usaha formal hiburan rasanya sebagai pengusaha sulit membuka ruang usaha di Kota Probolinggo, karena sampai saat ini Perda dan perwali yang mengatur tentang hiburan pengendalian tempat hiburan, satu titik dan satu kata pun tidak dilakukan revisi.
Maka pada akhir nya tinggal dilihat kedepan bagaimana pemberlakukan perda tersebut. Jika arus penolakan tempat hiburan tetap konsistem seperti 5 tahun terakhir, saya kira tempat hiburan tidak akan berdiri.
Akhirnya, semoga ruang fiskal Kota Probolinggo, terus semakin baik dengan tetap memperhatikan prinsip kebaikan, kemaslahatan dan kebaikan bagi masyarakat yang multi talent dan keberagaman.