Jember – Kebijakan Bupati Jember yang menghapuskan retribusi parkir di seluruh wilayah kabupaten memunculkan gelombang reaksi dari berbagai kalangan. Salah satu suara kritis datang dari Bambang Irawan, tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) yang dikenal luas sebagai “Santri Nasionalis”. Dalam sebuah pernyataan yang viral di media sosial dan mendapat liputan media lokal, Bambang menyebut kebijakan ini sebagai “populisme murah yang mahal biayanya.”
Bambang menilai keputusan Bupati Jember untuk menggratiskan parkir bukanlah langkah bijak, melainkan tindakan reaktif yang justru mengabaikan akar persoalan sistemik dalam tata kelola perparkiran di kabupaten tersebut. “Ini seperti dokter yang menyerah mengobati pasien karena penyakitnya kronis, lalu memilih mematikan gejalanya dengan anestesi. Nyeri mungkin hilang sesaat, tapi penyakitnya tetap merajalela,” sindir Bambang.
Menurut data tahun 2024 yang disampaikan oleh Bambang, dari target retribusi parkir sebesar Rp19,8 miliar, realisasi pendapatan hanya mencapai sekitar Rp1,3 miliar atau sekitar 6 persen saja. “Ini bukan sekadar kegagalan teknis. Ini sinyal kuat adanya kebocoran sistemik yang tidak ditangani dengan serius. Dan ironisnya, bukannya memperbaiki sistem dan memperkuat pengawasan, pemerintah justru memilih meniadakan retribusinya,” ungkapnya.
Populisme yang Membebani Masa Depan
Dalam pandangan Bambang, parkir gratis bukanlah solusi, melainkan jalan pintas yang menyesatkan. “Kita patut bertanya, bagaimana mungkin sebuah daerah yang tengah terseok-seok mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), justru melepaskan salah satu sumber pendapatannya?” tanyanya retoris.
Ia menyebut kebijakan ini sebagai bentuk keputusasaan yang dibungkus narasi populisme. “Di saat daerah lain berlomba-lomba memperkuat kemandirian fiskal, Jember justru memilih mundur. Ini bukan tindakan progresif, ini regresif,” lanjutnya.
Menurutnya, parkir gratis bisa menimbulkan dampak ikutan yang lebih serius, terutama jika tidak dibarengi dengan reformasi sistem perparkiran dan pengawasan yang ketat. “Tanpa sistem dan regulasi yang jelas, kebijakan ini hanya akan membuka ruang baru bagi praktik pungutan liar. Oknum juru parkir bisa tetap memungut uang dari masyarakat dengan alasan ‘sukarela’, ‘jasa menjaga motor’, atau ‘biaya keamanan’. Akhirnya yang terjadi bukan parkir gratis, melainkan parkir liar yang dilegalkan,” tegas Bambang.
Minim Koordinasi, Lemah dalam Perencanaan
Kritik Bambang tidak hanya soal substansi kebijakan, tapi juga proses pengambilan keputusan yang dinilainya terburu-buru dan minim koordinasi. Ia menyesalkan tidak adanya dialog mendalam antara eksekutif dan legislatif, padahal kebijakan ini berdampak langsung pada potensi pendapatan daerah. “Tidak ada diskusi menyeluruh dengan DPRD, tidak ada perencanaan jangka panjang yang transparan. Yang ada hanyalah respons reaktif terhadap keluhan publik,” tukasnya.
Menurut Bambang, pemerintah daerah semestinya tidak terjebak pada upaya pencitraan sesaat. Ia mengingatkan bahwa rakyat memang berhak atas pelayanan publik yang baik, termasuk fasilitas parkir yang aman, teratur, dan terjangkau. Namun, menurutnya, itu harus dibangun di atas fondasi fiskal yang kuat dan sistem tata kelola yang akuntabel.
“Keadilan sosial tidak akan tercapai jika pemerintah terus menumpuk kebijakan simbolik tanpa basis ekonomi yang kokoh. Hari ini mungkin terlihat manis, tapi besok kita akan membayar mahal dalam bentuk terhambatnya pembangunan, terganggunya layanan publik, dan terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” ujar Bambang.
Menawarkan Solusi, Bukan Sekadar Kritik
Berbeda dari banyak pengkritik yang hanya menyampaikan keluhan, Bambang turut menawarkan sejumlah solusi. Ia mendesak pemerintah daerah untuk kembali ke jalur rasional dengan memulai audit menyeluruh terhadap sistem perparkiran yang ada. “Lakukan digitalisasi sistem parkir, tegakkan regulasi, dan libatkan masyarakat dalam pengawasan. Jangan remehkan potensi PAD dari sektor ini. Bila dikelola dengan baik, parkir bisa menjadi sumber pendapatan yang berkelanjutan,” sarannya.
Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya pelibatan publik dalam proses perumusan kebijakan. “Demokrasi yang sehat menuntut partisipasi masyarakat dan transparansi dalam pengambilan keputusan. Kebijakan yang kuat lahir dari dialog, bukan dari monolog kekuasaan,” tegasnya.
Menimbang Kembali Arah Pembangunan Daerah
Pernyataan Bambang Irawan ini menambah daftar panjang kritik terhadap kebijakan parkir gratis di Jember. Meski niat awalnya ingin meringankan beban masyarakat, kebijakan ini tampaknya menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Kini bola berada di tangan Bupati Jember dan jajarannya. Apakah mereka akan mendengarkan kritik ini dan melakukan evaluasi menyeluruh, atau tetap bertahan pada kebijakan populis yang rapuh fondasinya?
Seperti dikatakan Bambang di akhir pernyataannya, “Kebijakan publik bukan soal terlihat baik, tapi soal membawa manfaat jangka panjang. Mari kita waras bersama dalam membangun Jember, bukan sekadar puas dalam menyenangkan hati sesaat.” (r1ck)