DETIKNUSANTARA.CO.ID – Terdapat pandangan di kalangan tertentu yang menilai bahwa pengabulan dispensasi perkawinan dengan alasan kehamilan calon istri dapat menimbulkan kesan bahwa hukum memberi insentif atau pembenaran terhadap perilaku amoral. Pendapat tersebut beranggapan bahwa keputusan pengadilan yang mengabulkan dispensasi karena kehamilan akan mendorong praktik sosial baru, yakni bahwa “agar dispensasi dikabulkan, maka calon istri harus terlebih dahulu dihamili.”
Pandangan demikian tidak tepat secara yuridis, sosiologis, maupun etik hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Pertama, pengabulan dispensasi dalam kondisi kehamilan bukanlah bentuk legitimasi terhadap perbuatan amoral, melainkan respons yuridis terhadap akibat hukum yang telah terjadi. Hukum dalam hal ini berfungsi sebagai instrumen korektif (corrective justice), bukan sebagai sarana justifikasi perilaku. Pengadilan tidak menilai atau mengesahkan perbuatan yang menyebabkan kehamilan, tetapi fokus pada perlindungan terhadap hak-hak pihak yang paling rentan, yaitu perempuan dan anak.
2. Kedua, argumentasi bahwa pengabulan dispensasi karena kehamilan dapat menjadi “pembenaran sosial” merupakan bentuk kekeliruan dalam memahami fungsi hukum. Hukum perkawinan berperan sebagai mekanisme perlindungan dan penataan akibat hukum, bukan alat untuk memberikan ganjaran moral. Jika hukum menolak memberikan perlindungan dalam kondisi kehamilan, justru negara akan dianggap abai terhadap prinsip perlindungan perempuan dan anak (the best interest of the child) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak.
3. Ketiga, dari perspektif teori hukum progresif, hukum tidak boleh berhenti pada pendekatan normatif-formal semata, tetapi harus hadir sebagai sarana kemanusiaan untuk menjawab realitas sosial. Pengabulan dispensasi dalam kondisi kehamilan bukanlah bentuk kompromi moral, melainkan pilihan hukum yang berkeadilan substantif, yakni bagaimana hukum memberikan perlindungan terhadap pihak yang paling lemah, tanpa mengorbankan prinsip pencegahan perkawinan usia dini.
4. Keempat, dari perspektif teologis dan filsafat hukum Islam, kehamilan sejatinya bukanlah hasil rekayasa manusia semata, tetapi merupakan bagian dari kehendak dan kekuasaan Allah SWT. Tidak sedikit pasangan suami istri yang telah menikah secara sah bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, namun belum juga dikaruniai anak. Sebaliknya, ada perempuan yang hamil tanpa perencanaan, bahkan dalam keadaan yang di luar kehendaknya. Hal ini menegaskan bahwa kehamilan bukan sepenuhnya akibat kehendak manusia, melainkan bagian dari takdir dan kuasa Allah yang tidak dapat ditolak. Kehamilan adalah domain kekuasaan Ilahi, bukan sekadar hasil kehendak manusia. Maka dari itu, memposisikan kehamilan sebagai akibat moral semata adalah reduksi terhadap makna takdir dan kuasa Tuhan. Dalam kerangka hukum Islam dan hukum nasional, manusia berkewajiban menata akibat dari setiap peristiwa yang terjadi, termasuk kehamilan, agar tidak menimbulkan mudarat yang lebih besar.
Dengan demikian, kekhawatiran bahwa pengabulan dispensasi karena kehamilan akan menjadi preseden negatif tidak beralasan, sepanjang pengadilan menjalankan fungsi pengawasan yang ketat dan menerapkan asas kehati-hatian (judicial prudence). Hukum tetap menolak dan mencegah terjadinya perkawinan anak, tetapi dalam keadaan luar biasa—ketika kehamilan telah terjadi—pengadilan berkewajiban memberikan perlindungan hukum untuk menghindari kerugian yang lebih besar.
Secara yuridis, kehamilan calon istri dapat dikategorikan sebagai alasan sangat mendesak dalam permohonan dispensasi perkawinan, karena memenuhi unsur “tidak ada pilihan lain” dan “keadaan sangat terpaksa” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Sementara secara filosofis, pengabulan dispensasi dalam kondisi demikian merupakan penerapan prinsip keadilan korektif dan perlindungan terhadap hak asasi pihak yang rentan, bukan bentuk pembenaran terhadap perilaku amoral.
Oleh karena itu, hakim harus memposisikan dirinya bukan sekadar sebagai pelaksana teks undang-undang, melainkan sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam hukum (the guardian of justice and humanity). Dalam konteks tersebut, hukum tidak hadir untuk menghukum masa lalu, tetapi untuk menyelamatkan masa depan perempuan dan anak yang menjadi korban dari realitas sosial yang tidak ideal.