Kabar Desa

Bukan Politisi, Ini Sosok Haji Halili: Juragan Tembakau Madura yang Bikin Desa Berubah Drastis

7
×

Bukan Politisi, Ini Sosok Haji Halili: Juragan Tembakau Madura yang Bikin Desa Berubah Drastis

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Surabaya – Di tanah Madura yang keras dan berdebu, tembakau bukan sekadar tanaman. Ia adalah jalan hidup, darah yang mengalir dalam denyut ekonomi rakyat, dan doa yang disematkan dalam tiap lembar daun yang mengering di bawah terik matahari. Di antara aroma tembakau yang tajam dan pekat itu, lahirlah satu nama yang tak sekadar dikenal, tapi dihidupi oleh desanya sendiri: Haji Halili. Seorang lelaki yang tak pernah mencari sorotan, namun langkah-langkahnya telah menyalakan lentera kecil di sudut-sudut desa yang dulu remang.

 

Tampojung Tengah, Kecamatan Waru, bukan desa yang dikenal luas oleh peta kekuasaan. Tapi desa itu tahu persis siapa yang pernah memeluknya erat, dalam senyap namun penuh daya. Dua periode kepemimpinan Haji Halili menjadi babak penting dalam sejarah kecil desa itu—sejarah yang tak ditulis di lembaran birokrasi, tetapi diukir dalam jalan-jalan yang mulanya berlubang, di irigasi yang dulu kering, dan di wajah-wajah petani yang mulai berani bermimpi. Bukan dengan retorika, tapi dengan kerja keras dan kehadiran yang tak pernah pura-pura.

 

Lelaki ini tidak belajar kepemimpinan dari seminar atau kampus. Ia belajar dari ladang, dari abahnya—Haji Moh. Zainal—yang tak pernah lelah mengajaknya menimbang daun tembakau, menawar harga, membaca cuaca, dan menakar resiko. Sejak kecil, Halili digembleng dalam disiplin khas orang pasar: bangun sebelum ayam berkokok, pulang ketika langit sudah rebah, dan tak pernah mempercayai keberuntungan selain kerja keras. Di situlah ia belajar tentang nilai. Tentang tekad. Tentang bagaimana membangun bukan dengan janji, tetapi dengan kepercayaan.

 

Tahun 2014 menjadi titik balik. Bersama sepupunya, Haji Her—figur yang juga disegani dalam dunia bisnis tembakau—Halili mulai merintis jaringan pembelian langsung dari petani. Bukan sekadar strategi dagang, ini adalah semacam perlawanan halus terhadap praktik tengkulak yang menindas harga. Ia tahu betul bagaimana getirnya panen ketika harga ditekan serendah-rendahnya. Maka, ia memilih berpihak—bukan kepada keuntungan, tetapi kepada keberlangsungan hidup petani. Ia bukan sekadar menjual, ia mengembalikan martabat.

 

Dalam dunia yang makin gemar merayakan kemasan daripada substansi, Haji Halili justru meniti jalan sebaliknya. Ia tidak pernah tampil mencolok. Tidak suka bicara banyak. Tidak tertarik berswafoto dengan proyek-proyek. Tapi di balai desa, di sawah-sawah, dan di gudang-gudang tembakau, nama Halili hadir sebagai bisikan yang penuh hormat. Ia adalah pemimpin yang dilihat bukan karena citra, tapi karena jejak.

 

Ketika sejumlah kelompok pemuda mulai menyebut namanya sebagai sosok yang pantas maju dalam Pilkada, publik mendadak memperhatikannya. Apalagi ketika deklarasi dukungan muncul, memasangkan namanya dengan KH. Kholilurrahman—sebuah kombinasi antara darah rakyat dan karisma ulama. Tapi Halili menjawabnya dengan datar. “Saya belum terpikir ke sana,” katanya. Bukan karena takut bersaing, tetapi karena ia tahu medan yang hendak ia tapaki belum tentu menyisakan ruang bagi idealismenya. Ia tahu betul, kekuasaan bukan panggung untuk mengasah ego, tapi ladang pengabdian yang penuh ranjau kompromi.

 

Dan barangkali justru dari sikap itulah Haji Halili berbeda. Dalam diamnya, ia keras. Dalam ketenangannya, ia kukuh. Ia seperti tembakau Madura itu sendiri—dibakar perlahan, tapi aroma dan kekuatannya tinggal lama. Di saat banyak yang sibuk menakar suara dan memburu elektabilitas, Halili memilih tetap menyusuri jalur yang pernah membesarkannya: desa dan debu.

 

Di balik tubuhnya yang tidak mencolok itu tersimpan sesuatu yang langka—tekad yang tidak ingin dikenal, tapi ingin berdampak. Ia bukan pahlawan. Ia tidak perlu disanjung. Tapi ia telah menjadi contoh, bahwa perubahan sejati tidak selalu butuh mikrofon dan panggung. Kadang, ia cukup hadir dalam bentuk jalan desa yang tidak lagi becek, sawah yang terairi, dan harga panen yang tak lagi memeras air mata.

 

Tembakau, desa, dan tekad: tiga kata yang merangkum hidup Haji Halili. Ia adalah benang halus yang mengikat harapan rakyat kecil dalam gulungan sejarah lokal yang sering luput dari perhatian. Di antara debu-debu tembakau yang terbang setiap musim, dan suara anak-anak desa yang kini bersekolah dengan layak, nama Halili akan tetap tinggal. Tak perlu dicetak tebal dalam buku sejarah. Cukup diingat oleh mereka yang tahu bahwa untuk menjadi besar, seseorang tak perlu tinggi suara—cukup teguh hati. (r1ck)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *