Detiknusantara.co.id – Profesi advokat dalam sistem hukum Indonesia diposisikan sebagai officium nobile, sebuah profesi mulia yang mengemban fungsi sosial untuk menegakkan hukum, kebenaran, dan keadilan. Konstruksi etik profesi advokat menempatkan advokat sebagai pihak yang wajib menjaga independensi, integritas, serta loyalitas eksklusif kepada klien yang diwakilinya. Namun, dalam praktik empiris, tidak jarang ditemukan fenomena oknum advokat yang melakukan praktik dual representation atau yang populer disebut “bermain dua kaki”, yakni menerima imbalan jasa hukum dari penggugat maupun tergugat dalam perkara yang sama. Fenomena ini bukan sekadar persoalan etik, tetapi juga problem yuridis yang dapat menggerus legitimasi peradilan.
Secara normatif, Kode Etik Advokat Indonesia Pasal 4 tegas melarang advokat menangani perkara dengan kepentingan yang saling bertentangan. Larangan ini sejalan dengan prinsip conflict of interest yang dikenal dalam doktrin hukum profesi. Apabila advokat menerima honorarium dari kedua belah pihak, maka terdapat pelanggaran langsung terhadap prinsip fiduciary duty (kewajiban kesetiaan), yang secara universal menjadi fondasi hubungan antara advokat dengan kliennya.
Lebih lanjut, perilaku tersebut melanggar prinsip independensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya Pasal 4 yang mengatur sumpah advokat untuk menjalankan profesi secara jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, oknum advokat yang bermain dua kaki telah mengkhianati sumpah profesinya sendiri.
Secara teoretis, perilaku ini dapat dianalisis melalui teori etika deontologis Immanuel Kant yang menekankan pada kewajiban moral. Oknum advokat yang seharusnya menjadikan kebenaran sebagai tujuan, justru mereduksi profesinya menjadi instrumen transaksional. Sementara dari perspektif utilitarianisme, praktik oknum advokat bermain dua kaki membawa dampak destruktif terhadap kepastian hukum dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Filosofi hukum Gustav Radbruch yang menekankan tiga nilai dasar hukum -kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan- juga tercederai. Kepastian hukum terganggu karena oknum advokat memanipulasi jalannya perkara; keadilan hilang karena terjadi asimetri informasi dan rekayasa; kemanfaatan hukum tidak tercapai karena peradilan justru menjadi arena praktik kotor.
Fenomena ini tidak hanya dapat ditindak secara etik, melainkan juga memiliki implikasi pidana. Jika penerimaan uang dari kedua pihak dimaksudkan untuk mempengaruhi jalannya perkara atau “mengatur” hasil putusan, maka oknum advokat dapat dijerat dengan:
Pasal 378 KUHP (penipuan), apabila terbukti menipu salah satu pihak dengan janji palsu.
Pasal 372 KUHP (penggelapan), apabila uang yang diterima diselewengkan bukan untuk kepentingan hukum klien.
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila penerimaan uang tersebut berkorelasi dengan praktik suap untuk mempengaruhi pejabat peradilan.
Di sisi lain, secara etik, oknum advokat dapat dijatuhi sanksi oleh Dewan Kehormatan Organisasi Advokat berupa peringatan, pemberhentian sementara, hingga pencabutan izin praktik secara permanen.
Oknum Advokat yang menerima imbalan dari penggugat dan tergugat secara simultan pada hakikatnya melakukan pelanggaran multidimensi: etik, yuridis, dan moral. Ia mengkhianati sumpah profesi, melanggar prinsip fiduciary duty, serta mencederai nilai dasar hukum. Dalam level praksis, fenomena ini dapat meruntuhkan marwah advokat sebagai officium nobile dan menggerogoti legitimasi sistem peradilan.
Oleh karena itu, diperlukan dua pendekatan. Pertama, pendekatan etik melalui penguatan Dewan Kehormatan Advokat untuk menindak tegas pelanggaran. Kedua, pendekatan hukum pidana sebagai ultimum remedium apabila terbukti terdapat niat jahat (mens rea) dan perbuatan nyata (actus reus) yang memenuhi unsur tindak pidana. Dengan demikian, advokat tidak boleh sekadar dipandang sebagai “pencari nafkah hukum”, tetapi harus dipertahankan sebagai penjaga moralitas hukum dan keadilan.