Oleh: H. Safiudin
(Pemerhati Kebijakan Publik dan Sosial)
SUMENEP, Detiknusantara.co.id – Perdebatan mengenai aktivitas industri minyak dan gas (migas) di wilayah Sumenep masih berlangsung tanpa kepastian arah penyelesaian. Dua kelompok utama—pihak yang menolak dan pihak yang mendukung—sebenarnya berangkat dari niat serupa, yakni menjaga serta memajukan daerah. Perbedaan muncul pada sudut pandang dan titik tekan argumentasi yang mereka usung. Selasa(28/10/2025)
Kelompok penolak memandang lingkungan hidup sebagai warisan yang harus dijaga kelestariannya. Alam dianggap bukan sekadar sumber daya, melainkan amanah yang wajib diwariskan dalam kondisi utuh bagi generasi mendatang. Kekhawatiran mereka berpusat pada potensi kerusakan ekologis dan dampak jangka panjang terhadap kehidupan masyarakat.
Sebaliknya, kelompok pendukung menilai sumber daya migas sebagai anugerah yang perlu dimanfaatkan secara bijak demi kesejahteraan bersama. Dengan tata kelola yang akuntabel dan pengawasan ketat, eksplorasi maupun eksploitasi migas diyakini mampu menjadi instrumen peningkatan kemakmuran masyarakat.
Kedua perspektif ini pada dasarnya merupakan dinamika sehat dalam ruang demokrasi. Namun, risiko muncul bila perbedaan pandangan berkembang menjadi pertentangan berkepanjangan. Kondisi semacam itu berpotensi menghambat pembangunan dan mengerdilkan peluang optimalisasi potensi daerah.
Dalam situasi demikian, peran pemerintah menjadi kunci. Pemerintah Kabupaten Sumenep, khususnya Bupati, diharapkan mampu merumuskan kebijakan yang komprehensif: kebijakan yang menyeimbangkan semangat pelestarian lingkungan dengan pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan publik.
Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah daerah terkesan belum optimal dalam mencari titik temu. PT KEI selaku perusahaan penugasan dan PT GSI sebagai pelaksana kegiatan pun dinilai belum sepenuhnya berhasil menyerap aspirasi masyarakat. Instrumen penyelesaian yang ditawarkan sering kali tidak efektif di tingkat implementasi.
Padahal, komunikasi dua arah yang terbuka dan tulus merupakan fondasi penyelesaian. Pemerintah daerah bersama SKK Migas dan pihak perusahaan seharusnya mengerahkan secara maksimal kapasitas sumber daya manusia serta perangkat kebijakan untuk mengurai persoalan ini. Di sisi lain, masyarakat—baik yang menolak maupun yang mendukung—perlu diarahkan agar dialog substantif dapat terwujud.
Pada akhirnya, menjaga kelestarian alam dan memanfaatkan potensi migas tidak harus diposisikan sebagai dua hal yang saling meniadakan. Keduanya dapat disinergikan sebagai bagian dari tujuan bersama: mendorong kemajuan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Sumenep.
***Artikel ini di luar tanggung jawab redaksi. Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis***













