DETIKNUSANTARA.CO.ID – Fenomena pemberian amplop atau hadiah dari santri maupun wali santri kepada kiai sering kali disalahpahami oleh sebagian kalangan yang memandangnya melalui kacamata materialistik. Mereka berasumsi bahwa pemberian tersebut mencerminkan ketimpangan sosial, kiai hidup berkecukupan dengan sarung mahal dan kendaraan mewah, sementara sebagian wali santri tetap hidup dalam kesederhanaan. Pandangan demikian jelas reduksionistik dan tidak memahami struktur nilai yang melandasi tradisi pesantren.
Relasi Kiai–Santri
Dalam epistemologi pendidikan Islam, relasi antara kiai dan santri tidak dibangun atas dasar pertukaran ekonomi (economic exchange), melainkan atas asas ta’dzim wa al-barakah, yaitu penghormatan dan pencarian keberkahan. Kiai bukan hanya pengajar ilmu, tetapi mursyid ruhani (pembimbing spiritual) yang menjadi perantara turunnya barakah al-‘ilm (keberkahan ilmu).
Hadiah atau amplop yang diberikan kepada kiai bukan bentuk “imbal jasa”, tetapi manifestasi ta’dzim, adab tertinggi dalam menuntut ilmu. Dalam konteks ini, pemberian memiliki nilai sakral, bukan komersial.
Keabsahan dan Etika Pemberian
Dalam fiqih Islam, pemberian kepada guru termasuk dalam kategori hibah (pemberian sukarela) yang diperbolehkan selama tidak mengandung syarat yang merusak keikhlasan.
Dengan demikian, penerimaan kiai atas pemberian tersebut bukan pelanggaran moral, melainkan bentuk keterbukaan terhadap kasih sayang murid dan masyarakat. Kiai yang menerima pemberian dengan niat menjaga kehormatan pemberi dan menolak riya, tetap berada dalam koridor etika syar’i.
Asas Kepemilikan dan Keseimbangan Sosial
Dalam kerangka hukum Islam, setiap individu memiliki hak milik pribadi atas harta yang diperoleh secara halal (al-milkiyyah al-syar’iyyah). Kekayaan kiai tidak bisa dipersoalkan selama tidak bersumber dari jalan yang batil. Bahkan, dalam maqāṣid al-syarī‘ah, pemeliharaan harta (hifz al-māl) termasuk salah satu tujuan utama syariat.
Sementara kesederhanaan wali santri tidak meniadakan nilai keberkahan yang diterima. Barakah bukan berarti pemerataan materi, melainkan keberlanjutan manfaat, ketenangan batin, dan kemudahan hidup yang bersumber dari ridha guru. Oleh karena itu, ukuran keberhasilan spiritual tidak ditakar dengan simbol ekonomi, melainkan dengan keluasan manfaat dan ketenteraman jiwa.
Fungsi Simbolik dan Legitimasi Moral
Secara sosiologis, kiai sering berfungsi sebagai simbol moral sekaligus figur karismatik dalam masyarakat santri. Penggunaan sarung berkualitas atau kendaraan layak bukan ekspresi hedonisme, tetapi peneguhan simbol kehormatan sosial terhadap ulama. Tradisi ini sejalan dengan konsep karāmah al-‘ālim (kemuliaan orang berilmu) yang menuntut umat untuk menghormati guru, bukan menyejajarkannya dengan logika materialisme kelas.
Kiai yang menjaga citra lahiriah dengan pantas justru memperkuat legitimasi moral pesantren di mata masyarakat luas, menunjukkan bahwa kehormatan ilmu layak dihargai dengan kemuliaan.
Akhir kata, pemberian santri kepada kiai serta kesejahteraan lahiriah yang dinikmati oleh sebagian kiai tidak dapat dipahami sebagai bentuk eksploitasi sosial, tetapi sebagai bagian dari sistem nilai pesantren yang berakar pada ta’dzim, barakah, dan ikhlas.
Kiai yang hidup dengan sarung mahal atau mobil layak tidak menyalahi ajaran Islam, sepanjang diperoleh secara halal dan digunakan untuk kemaslahatan dakwah. Sedangkan wali santri yang tetap sederhana pun tidak dirugikan, karena mereka justru memperoleh barakah doa dan ridha guru, yang nilainya jauh melampaui dimensi materi.

 
 
							











