Uncategorized

Implikasi Hukum Pidana terhadap Praktik Titip Absen Anggota DPRD dalam Pengesahan Raperda

×

Implikasi Hukum Pidana terhadap Praktik Titip Absen Anggota DPRD dalam Pengesahan Raperda

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Detiknusantara.co.id – Fenomena titip absen oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saat rapat paripurna, khususnya dalam pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap etika dan integritas lembaga legislatif. Praktik tersebut tidak hanya mencederai prinsip representasi rakyat, tetapi juga berpotensi mengandung unsur tindak pidana berupa pemalsuan administrasi dan penyalahgunaan wewenang.

Secara normatif, kehadiran anggota DPRD dalam rapat paripurna diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing daerah. Kehadiran merupakan kewajiban konstitusional sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dengan demikian, menitipkan absen untuk dianggap hadir merupakan bentuk pelanggaran terhadap kode etik sekaligus manipulasi administratif.

Dari perspektif hukum pidana, tindakan menitip absen dapat dikualifikasikan sebagai pemalsuan surat atau dokumen negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut menyebutkan bahwa barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, kewajiban, atau pembebasan dari suatu perikatan dengan maksud untuk digunakan seolah-olah asli, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Dalam konteks titip absen, penggunaan tanda tangan atau daftar hadir palsu dapat dikategorikan sebagai bentuk pemalsuan surat karena mengakibatkan akibat hukum, yakni tercatatnya kehadiran anggota DPRD secara fiktif dalam risalah sidang resmi lembaga negara.

Selain itu, apabila tindakan tersebut dilakukan secara sistematis dan disertai dengan penerimaan fasilitas, tunjangan, atau honor rapat yang seharusnya hanya diterima oleh anggota yang hadir, maka dapat pula dijerat dengan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan atau bahkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara atau daerah.

Dengan demikian, titip absen bukanlah sekadar pelanggaran etik internal, melainkan juga dapat berimplikasi pidana, terutama ketika perbuatan tersebut mempengaruhi sah tidaknya proses legislasi dan menimbulkan potensi kerugian negara. Dalam kerangka etika pemerintahan yang baik (good governance), setiap anggota DPRD wajib hadir secara fisik dan bertanggung jawab atas kehadirannya dalam setiap rapat paripurna, sebab keabsahan suatu peraturan daerah juga bergantung pada kuorum kehadiran yang sah.

Oleh karena itu, diperlukan penegakan hukum yang tegas melalui Badan Kehormatan DPRD sebagai pintu masuk pemeriksaan etik, disertai kemungkinan pelimpahan ke aparat penegak hukum apabila ditemukan indikasi tindak pidana. Penegasan sanksi pidana terhadap praktik titip absen merupakan langkah strategis untuk mengembalikan marwah lembaga legislatif dan memastikan bahwa setiap kebijakan publik lahir dari proses demokrasi yang jujur, akuntabel, dan berintegritas.

Penulis: Achmad Mukhoffi, S.H., M.H.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *