DETIKNUSANTARA.CO.ID – Pernyataan bahwa “eksekusi yang dinilai salah batas harus dinyatakan non executable” merupakan pandangan yang keliru secara yuridis maupun doktrinal. Dalam perspektif hukum acara perdata, pelaksanaan eksekusi merupakan manifestasi dari asas res judicata pro veritate habetur, yakni bahwa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap harus dianggap benar dan mengikat bagi para pihak serta negara wajib menjamin pelaksanaannya.
Penilaian bahwa batas objek eksekusi “salah” tidak serta-merta menjadi dasar hukum untuk menyatakan suatu putusan tidak dapat dieksekusi (non executable). Hukum acara perdata tidak mengenal mekanisme pembatalan eksekusi hanya berdasarkan dugaan atau klaim sepihak. Koreksi terhadap objek eksekusi hanya dapat dilakukan melalui upaya hukum yang sah, seperti perlawanan pihak ketiga (derden verzet) atau gugatan pembatalan terhadap berita acara penetapan batas yang diajukan melalui proses peradilan baru.
Sepanjang amar putusan telah memenuhi syarat determinant (jelas dan pasti mengenai subjek, objek, serta isi kewajiban yang harus dilaksanakan), maka eksekusi merupakan konsekuensi hukum yang wajib dijalankan oleh Pengadilan. Adapun kesalahan teknis atau administratif terkait batas fisik di lapangan bukanlah dasar normatif untuk membatalkan kewenangan eksekutorial, melainkan hanya dapat menjadi dasar untuk penyesuaian teknis dalam pelaksanaan, bukan pembatalan substansial.
Dengan demikian, argumentasi bahwa eksekusi yang “dinilai salah batas” harus dinyatakan non executable adalah bentuk penyimpangan dari asas kepastian hukum dan berpotensi mengacaukan prinsip finalitas putusan pengadilan. Pandangan demikian justru bertentangan dengan doktrin hukum positif dan dapat membuka ruang bagi ketidaktaatan terhadap putusan pengadilan yang sah.

 
 
							









