DETIKNUSANTARA.CO.ID – Perlu ditegaskan bahwa mediasi merupakan instrumen hukum yang bersifat wajib (compulsory mechanism) dalam setiap penyelesaian perkara perdata di pengadilan. Ketentuan ini bukanlah sekadar formalitas administratif, melainkan diatur secara tegas dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Menurut Pasal 4 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2016, hakim wajib memerintahkan para pihak untuk menempuh mediasi sebelum memeriksa pokok perkara. Norma ini bersifat imperatif, artinya tidak dapat dikesampingkan atas dasar kesepakatan para pihak. Kewajiban tersebut merupakan perintah normatif dari lembaga yudikatif tertinggi (Mahkamah Agung) yang mengikat seluruh hakim dalam lingkungan peradilan di Indonesia.
Lebih lanjut, Pasal 13 ayat (1) menegaskan bahwa mediator yang memimpin proses mediasi haruslah mediator bersertifikat, sebagai jaminan bahwa proses mediasi dilaksanakan secara profesional, imparsial, dan sesuai dengan kode etik mediator. Dengan demikian, penggantian mediasi formal oleh surat pernyataan kesepakatan e-Court yang menolak mediasi merupakan bentuk penyimpangan terhadap norma hukum acara perdata.
Dari sudut pandang teori hierarki norma hukum (stufenbau theory) menurut Hans Kelsen, ketentuan Perma sebagai peraturan pelaksana dari HIR/RBg memiliki kekuatan mengikat secara vertikal terhadap semua tindakan hukum di bawahnya, termasuk kesepakatan para pihak. Oleh sebab itu, suatu kesepakatan keperdataan tidak boleh bertentangan dengan norma hukum publik yang bersifat mengatur (regeling) dan memaksa (dwingendrecht).
Kesepakatan para pihak dalam sistem e-Court yang menyatakan tidak akan menempuh mediasi, oleh karenanya, tidak memiliki daya meniadakan kewajiban hukum yang bersifat publik, karena asas kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUHPerdata tetap tunduk pada batasan “tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.” Dalam hal ini, Perma No. 1 Tahun 2016 merupakan bagian dari ketertiban umum peradilan (ordre public judiciaire).
Maka dari itu, setiap pemeriksaan perkara perdata yang dilakukan tanpa melalui tahapan mediasi yang sah dan dipimpin oleh mediator bersertifikat berpotensi mengandung cacat prosedural (procedural defect) yang dapat berimplikasi pada batal demi hukum (nietig van rechtswege) atau sekurang-kurangnya menjadi dasar untuk pembatalan putusan melalui upaya hukum lanjutan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa:
Pertama, Mediasi adalah kewajiban hukum, bukan pilihan kesepakatan.
Kedua, Mediator bersertifikat adalah prasyarat sah proses mediasi.
Ketiga, Kesepakatan e-Court yang meniadakan mediasi tidak memiliki kekuatan menghapus kewajiban normatif tersebut.
Keempat, Pengabaian terhadap ketentuan mediasi mengakibatkan cacat formil dalam proses peradilan.
Oleh karenanya, surat kesepakatan e-Court yang menafikan pelaksanaan mediasi wajib dinyatakan non-excutabel, karena bertentangan dengan asas legalitas dan ketertiban hukum acara perdata yang dijaga oleh Mahkamah Agung.













