Peristiwa

Kontroversi Pasien Kritis Meninggal di RSUD Waluyo Jati, Ini Penjelasan Direktur RS dan Keluarga

×

Kontroversi Pasien Kritis Meninggal di RSUD Waluyo Jati, Ini Penjelasan Direktur RS dan Keluarga

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

PROBOLINGGO, DetikNusantara.co.id – Drama antara nyawa, prosedur medis, dan penolakan keluarga meninggalnya Mistari (69), pasien kecelakaan asal Karangpranti, Pajarakan, di RSUD Waluyo Jati Kraksaan pada Minggu (19/10/2025) masih menjadi kontroversi.

RSUD Waluyo Jati secara resmi mengeluarkan klarifikasi, membantah tudingan telah menunda atau menghambat administrasi yang berujung pada kematian pasien, bahkan isu ‘penyanderaan’ jenazah yang sempat beredar.

Klarifikasi ini muncul setelah adanya sorotan publik mengenai penanganan Mistari, yang meninggal dunia setelah tiga hari dirawat dengan perdarahan otak.

Direktur RSUD Waluyo Jati Kraksaan, dr. Yessi Rahmawati, menegaskan bahwa sejak Mistari tiba di IGD pada Kamis 16 Oktober 2025 pukul 09.29 WIB dalam kondisi kritis, pelayanan medis tidak pernah terhambat oleh urusan administrasi, termasuk jaminan dari Jasa Raharja.

“Pasien langsung kami tangani dengan tindakan emergensi lengkap,” jelas Yessi.

Hasil CT Scan mengonfirmasi adanya perdarahan otak. Tim medis sempat berupaya merujuk ke RS dr. Soebandi Jember untuk operasi bedah kepala, namun terhambat karena ruang ICU rujukan penuh.

Saat kondisi pasien memburuk, tim dokter menginstruksikan pemindahan ke ICU rumah sakit tersebut dan tindakan krusial pemasangan intubasi (alat bantu napas) untuk stabilisasi. Ironisnya, tindakan yang disebut vital ini secara tegas ditolak oleh pihak keluarga.

“Keluarga pasien menolak tindakan intubasi dan juga tidak bersedia pasien dipindah ke ICU,” ungkap Yessi, seraya menambahkan bahwa penolakan ini didokumentasikan. Bahkan, di saat-saat kritis, keluarga juga menolak Resusitasi Jantung Paru (RJP).

“Kami pastikan semua pelayanan telah sesuai standar profesi. Seluruh keputusan penanganan dilakukan berdasarkan indikasi medis dan persetujuan atau penolakan keluarga,” pungkas Yessi.

Pernyataan Direktur RSUD Waluyo Jati diamini oleh salah satu anak korban, berinisial E, yang mengakui adanya penolakan terhadap pemasangan intubasi dan pemindahan ke ICU. Namun, ia mengungkapkan alasan yang memicu dilema etis.

“Ya gak mau mas, soalnya kata perawatnya kalau dipasang alat itu ada risikonya. Kalau badan bapak saya kuat, InshaAllah terselamatkan, tapi kalau gak kuat ya meninggal mas. Daripada sama-sama seperti itu, mending gak usah,” ungkapnya menunjukkan kekhawatiran yang didorong oleh penjelasan risiko dari perawat.

Ia membantah menolak rujukan secara total, tetapi ia menolak rujukan ke Surabaya atau Malang dengan alasan terlalu jauh dan pertimbangan biaya, sementara permintaan rujukan ke Jember terkendala ketersediaan ruang di UGD yang penuh.

“Keputusan keluarga tetap meminta dirujuk ke Jember mas karena lebih dekat dan hemat biaya,” tandasnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *