Pendapat yang menyatakan bahwa permohonan dispensasi kawin kehilangan objek hanya karena pemohon telah menikah secara sirri tidak dapat dipertahankan jika dianalisis berdasarkan kerangka hukum perkawinan nasional, serta fungsi jurisdiksi voluntair Pengadilan Agama. Dalam hukum positif Indonesia, dispensasi kawin diberikan sebagai mekanisme untuk mengatasi ketidaksesuaian usia dengan syarat minimum perkawinan, bukan semata-mata bergantung pada status “belum menikah sirri”. Objek dari permohonan dispensasi adalah usia pemohon yang belum memenuhi syarat legal (19 Tahun), bukan fakta bahwa perkawinan belum dilakukan.
Anggapan bahwa nikah sirri otomatis menghapus objek permohonan merupakan penyederhanaan yang keliru. Nikah sirri tidak menghilangkan kebutuhan hukum untuk memperoleh dispensasi, sebab tanpa dispensasi, perkawinan tetap tidak bisa dicatat secara resmi. Dengan demikian, objek permohonan tetap ada, yaitu pemenuhan syarat legal agar perkawinan dapat dicatat dan pemohon memperoleh perlindungan hukum secara penuh. Ketidakmampuan untuk mencatat perkawinan justru merupakan risiko yang ingin dihindari oleh hukum.
Secara teoritik, jurisdiksi voluntair memiliki sifat deklaratif dan kuratif, bukan sekadar preventif. Artinya, meskipun dispensasi umumnya dimaksudkan sebagai izin pra-perkawinan, keberadaan nikah sirri tidak menutup kemungkinan pengadilan tetap menjalankan fungsi korektifnya untuk menyesuaikan keadaan dengan ketentuan hukum. Pendekatan yang hanya melihat aspek preventif bersifat kaku serta bertentangan dengan fungsi korektif lembaga peradilan.
Menolak permohonan hanya karena telah terjadi nikah sirri merupakan reaksi formalistik yang bertentangan dengan asas kemanfaatan, dan tujuan reformasi hukum keluarga. Jika putusan hanya didasarkan pada kesalahan prosedural orang tua, pemohon berisiko menjadi korban sekunder (secondary victimization) yang berada dalam ketidakpastian hukum. Pengadilan tidak boleh menggunakan logika “hukuman bagi orang tua” jika akibatnya justru merugikan pemohon yang harus dilindungi.
Dalam perspektif hukum keluarga modern, pengadilan berperan sebagai penjamin perlindungan hukum dan kepastian status personal, bukan sekadar penjaga prosedur formal. Jika dispensasi ditolak tanpa analisis substantif, negara gagal memberikan solusi hukum terhadap status perkawinan pemohon yang sudah terjadi. Padahal, tanggung jawab negara terhadap pemohon menuntut agar setiap peristiwa hukum yang berisiko bagi pemohon diselesaikan secara komprehensif, bukan sekadar ditolak secara formal.
Dispensasi kawin tetap diperlukan sebagai syarat pencatatan perkawinan, dan pencatatan merupakan aspek esensial dalam sistem perlindungan hak-hak keperdataan pemohon, termasuk status nasab, hak waris, tanggung jawab ekonomi, hingga akses administrasi kependudukan. Oleh karena itu, tidak ada dasar yuridis maupun teoritik yang memadai untuk menyatakan permohonan dispensasi tidak dapat diterima. Penolakan semacam itu justru menimbulkan kekosongan hukum (legal vacuum) dan bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum keluarga.
Berdasarkan seluruh argumentasi di atas, pandangan yang membenarkan penolakan permohonan hanya karena telah terjadi nikah sirri tidak tepat dan tidak proporsional. Dengan demikian, permohonan dispensasi kawin tetap layak diperiksa secara substantif dan dapat dikabulkan sepanjang terpenuhi alasan-alasan mendesak sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.













