SUMENEP,DetikNusantara.co.id – Pembangunan infrastruktur irigasi di Desa Kolokolo, Dusun Jembu, Kabupaten Sumenep, Madura, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp195 juta melalui Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI), menimbulkan persoalan serius dalam tata kelola pembangunan daerah (19/09/2025).
Proyek yang secara normatif bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani justru memperlihatkan indikasi kegagalan dalam pemenuhan standar teknis serta akuntabilitas publik.
Hal ini menyingkap kesenjangan antara besaran alokasi dana dan kualitas fisik bangunan yang dihasilkan. Selain itu, lemahnya siklus tata kelola mulai dari tahap perencanaan, implementasi, hingga pengawasan semakin memperburuk situasi.
Pantauan di lapangan, tidak adanya papan informasi proyek merupakan bukti nyata defisit transparansi, yang secara hukum bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Dalam perspektif good governance, kondisi tersebut mengindikasikan problem integritas birokrasi lokal. Prinsip transparansi, efektivitas, efisiensi, serta partisipasi publik yang semestinya menjadi landasan pengelolaan proyek tidak tercermin dalam praktik di lapangan.
Pengelolaan irigasi Kolokolo justru lebih menyerupai seremonial belaka, dengan manfaat substantif yang minim bagi masyarakat.
Situasi ini semakin problematis ketika upaya klarifikasi melalui saluran komunikasi resmi tidak mendapatkan respons. Bahkan, muncul dugaan adanya intervensi personal berupa permintaan informasi rekening pribadi wartawan melalui aplikasi pesan singkat. Permintaan tersebut dibenarkan oleh salah satu narasumber berinisial JH.
“Pihak terkait meminta melalui pesan WhatsApp nomor rekening salah satu wartawan. Namun wartawan tersebut menolak,” ungkap JH.
Lebih lanjut, JH juga menegaskan bahwa pihak pelaksana menyampaikan proyek masih dalam tahap persiapan pengerjaan.
Akan tetapi, hasil penelusuran lapangan memperlihatkan ketiadaan aktivitas pembangunan, sehingga memperkuat asumsi publik mengenai pelaksanaan yang asal-asalan dan jauh dari prinsip akuntabilitas pembangunan.