DetikNusantara.co.id – Dalam praktik peradilan agama, pembuktian dalam perkara perceraian seringkali menghadapi kendala pada aspek keterangan saksi. Tidak jarang pihak tergugat mengajukan bantahan dengan alasan bahwa saksi yang dihadirkan tidak menyaksikan langsung pertengkaran yang terjadi antara suami dan istri. Argumentasi semacam ini perlu diluruskan secara metodologis maupun yuridis.
Secara doktrinal, hukum acara perdata tidak pernah mensyaratkan bahwa saksi harus mengetahui secara langsung setiap peristiwa pertengkaran yang menjadi dasar gugatan perceraian. Pasal 171 HIR maupun Pasal 1907 KUHPerdata hanya mensyaratkan bahwa saksi memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia lihat, dengar, atau alami sendiri. Namun, yang menjadi titik tekan bukan pada “penyebab” pertengkaran, melainkan akibat hukum yang lahir dari pertengkaran tersebut, yakni apakah rumah tangga masih dapat dipertahankan atau sudah berada dalam kondisi pecah kongsi.
Di sinilah relevansi asas recht gevolg muncul sebagai pilar interpretasi. Asas ini menekankan bahwa hukum lebih menitikberatkan pada akibat hukum (rechtsgevolg) dari suatu peristiwa hukum dibandingkan pada kronologi detail penyebabnya. Dalam konteks perceraian, akibat hukum yang dimaksud adalah hilangnya keharmonisan rumah tangga, tiadanya lagi hubungan lahir batin, serta adanya pemisahan tempat tinggal yang menunjukkan secara objektif bahwa tujuan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU Perkawinan jo. Pasal 3 KHI sudah tidak tercapai.
Dengan demikian, kesaksian yang paling penting bukanlah “saksi melihat langsung pasangan bertengkar” melainkan “saksi mengetahui para pihak sudah lama tidak tinggal serumah, tidak ada interaksi sebagai suami-istri, bahkan menjalani kehidupan masing-masing secara terpisah”. Fakta-fakta tersebut merupakan manifestasi nyata dari akibat hukum (recht gevolg) yang ditimbulkan oleh pertengkaran yang berkelanjutan.
Pendekatan demikian sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang dalam banyak putusan menegaskan bahwa perceraian dapat dikabulkan apabila terbukti adanya perselisihan dan pertengkaran yang berkelanjutan sehingga rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi, meskipun saksi tidak mengetahui secara langsung akar pertengkarannya. Prinsip ini juga merupakan pengejawantahan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pembuktian perkara perdata.
Oleh karena itu, dalam perkara perceraian, keterangan saksi yang hanya mengetahui akibat dari pertengkaran (misalnya fakta pisah rumah, sikap acuh tak acuh, atau ketiadaan nafkah) sudah cukup untuk memberikan dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan gugatan. Asas recht gevolg menjadi instrumen teoritik sekaligus praktis yang menegaskan bahwa pembuktian tidak harus berkutat pada sebab musabab pertengkaran, melainkan pada efek yuridis berupa retaknya rumah tangga yang sudah tidak lagi layak dipertahankan.