Uncategorized

Pisah Rumah Enam Bulan sebagai Syarat Perceraian: Antara Perlindungan Keutuhan Rumah Tangga dan Keadilan Substantif

×

Pisah Rumah Enam Bulan sebagai Syarat Perceraian: Antara Perlindungan Keutuhan Rumah Tangga dan Keadilan Substantif

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

DETIKNUSANTARA.CO.ID – Penerapan syarat pisah rumah minimal enam bulan dalam perkara perceraian merupakan isu hukum yang menarik dan menimbulkan perdebatan dalam praktik peradilan agama. Ketentuan ini muncul sebagai bentuk perlindungan terhadap keutuhan rumah tangga, agar perceraian tidak dilakukan secara tergesa-gesa tanpa adanya upaya rekonsiliasi yang memadai. Namun demikian, dari perspektif hukum materiil, syarat tersebut tidak bersifat universal, melainkan terbatas hanya pada alasan perceraian karena perselisihan dan pertengkaran terus-menerus (cekcok).

 

Menurut Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian dapat terjadi apabila antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus sehingga tidak ada harapan untuk hidup rukun kembali. Untuk membuktikan kondisi tersebut, dalam praktik peradilan, salah satu indikator yang digunakan ialah adanya pisah tempat tinggal (pisah rumah) selama kurun waktu tertentu, yang menunjukkan bahwa konflik rumah tangga tersebut telah menimbulkan disintegrasi secara faktual.

 

Dalam konteks inilah, syarat pisah rumah minimal enam bulan diterapkan sebagai ukuran obyektif bahwa hubungan perkawinan telah berada pada titik kehancuran. Akan tetapi, secara sistematik, ketentuan ini tidak dapat diberlakukan terhadap seluruh alasan perceraian, sebab masing-masing alasan memiliki karakteristik hukum yang berbeda.

 

Pemisahan rumah tangga selama enam bulan berfungsi sebagai pembuktian empiris terhadap alasan pertengkaran terus-menerus. Durasi waktu enam bulan dimaknai sebagai periode evaluatif bagi kedua belah pihak untuk merefleksikan kemungkinan rujuk atau perdamaian. Jika setelah jangka waktu tersebut keadaan tidak membaik, maka hakim dapat menilai bahwa perkawinan tersebut secara sosiologis dan psikologis telah gagal mencapai tujuan rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

 

Namun, untuk alasan perceraian lainnya seperti zina, mabuk dan berjudi (Pasal 116 huruf a KHI), pasangan dipidana dengan hukuman 5 tahun penjara (Pasal 116 huruf c KHI), pasangan cacat permanen (Pasal 116 huruf e KHI), kekerasan fisik (Pasal 116 huruf d KHI), atau murtad (Pasal 116 huruf h KHI), tidak relevan untuk diberlakukan syarat pisah rumah enam bulan. Alasan-alasan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap kewajiban fundamental dalam perkawinan, yang secara otomatis memberikan hak bagi pihak yang dirugikan untuk memutuskan ikatan perkawinan tanpa menunggu jangka waktu tertentu.

 

Dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogat legi generali, di mana alasan perceraian yang bersifat khusus (misalnya zina atau kekerasan) harus mengesampingkan ketentuan umum mengenai pisah rumah enam bulan. Penerapan syarat yang sama terhadap semua jenis alasan cerai akan berimplikasi pada ketidakadilan substantif serta berpotensi menimbulkan reviktimisasi terhadap pihak yang menjadi korban kekerasan atau pelanggaran moral.

 

Selaras dengan hal tersebut, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 menegaskan bahwa syarat pisah rumah minimal enam bulan hanya berlaku untuk alasan perceraian karena perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 116 huruf (f) KHI. SEMA tersebut juga memberikan pedoman agar hakim tidak secara seragam menerapkan syarat pisah rumah dalam semua jenis perkara perceraian, terutama terhadap kasus yang melibatkan kekerasan dalam rumah tangga, penelantaran, atau pelanggaran moral berat. Dengan demikian, SEMA No. 3 Tahun 2023 meneguhkan pandangan bahwa penerapan syarat pisah rumah harus kontekstual dan proporsional, bukan sekadar formalistik.

 

Dari perspektif filosofis, ketentuan pisah rumah enam bulan merupakan manifestasi dari asas memelihara keutuhan rumah tangga (protection of marriage), yang menjadi nilai utama dalam hukum perkawinan Indonesia. Negara berupaya untuk tidak menjadikan perceraian sebagai langkah pertama, melainkan sebagai jalan terakhir (ultimum remedium). Akan tetapi, ketika asas tersebut diterapkan secara kaku tanpa mempertimbangkan konteks faktual, maka hukum kehilangan sifat responsif dan berkeadilan sosial.

 

Sementara dari perspektif sosiologis, durasi pisah rumah enam bulan hanya relevan apabila pertengkaran bersifat interpersonal dan emosional. Namun, jika permasalahan telah menyangkut pelanggaran moral, kekerasan, atau tindakan yang mengancam keselamatan fisik dan mental salah satu pihak, maka penerapan syarat pisah rumah menjadi tidak proporsional dan kontraproduktif terhadap perlindungan hukum bagi korban.

 

Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa syarat pisah rumah minimal enam bulan dalam perkara perceraian hanya sah dan relevan diterapkan berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2023, pada perkara dengan alasan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus sebagai bukti konkret bahwa rumah tangga tersebut sudah tidak dapat dipertahankan. Sebaliknya, untuk alasan perceraian lain yang bersifat substantif dan mendesak, ketentuan tersebut tidak mempunyai daya mengikat, karena bertentangan dengan prinsip keadilan substantif dan perlindungan terhadap pihak yang dirugikan.

 

Oleh sebab itu, hakim harus menerapkan pendekatan interpretatif dan kontekstual dalam menilai penerapan syarat tersebut, agar hukum tidak berhenti pada tataran formalitas, melainkan mampu mewujudkan nilai keadilan, kemanusiaan, dan perlindungan hak-hak individu dalam ikatan perkawinan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Uncategorized

Pertanyaan : Apakah pembeli mobil jaminan fidusia kepada…