PROBOLINGGO, DetikNusantara.co.id – Kasus meninggalnya Mistari (60), warga Desa Karangpranti, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo, di RSUD Waluyo Jati Kraksaan pada Minggu (19/10/2025) viral di media sosial. Pihak rumah sakit dituding kurang memberikan perawatan intensif kepada pasien.
Menanggapi hal tersebut, Direktur RSUD Waluyo Jati Kraksaan, dr Yessi, kembali memberikan klarifikasi kepada media Detik Nusantara mengenai kronologi perawatan pasien tersebut.
Dijelaskan bahwa Mistari tiba di Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada 16 Oktober 2025 pukul 09.29 WIB dengan kondisi penurunan kesadaran (GCS 3-4-5). Di IGD, pasien segera menjalani pemeriksaan lengkap, meliputi laboratorium, rontgen, dan CT scan, serta mendapatkan tindakan emergensi komprehensif seperti pemasangan infus, pemberian obat injeksi, penjahitan luka di kepala, dan konsultasi dengan dokter spesialis bedah saraf. Seluruh biaya pengobatan ditanggung oleh Jasa Raharja.
“Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya perdarahan otak,” jelasnya
Dokter Spesialis Bedah Saraf menganjurkan stabilisasi melalui pemberian obat Manitol untuk dekompresi/koreksi tekanan intrakranial, serta obat Asam Traneksamat untuk menghentikan perdarahan, diikuti dengan pemantauan ketat.
Saat kondisi pasien memburuk, pihak rumah sakit telah berkomunikasi secara intensif dan memberikan edukasi medis (KIE) kepada keluarga mengenai perlunya rujukan ke RS dr. Soebandi Jember untuk tindakan operasi bedah kepala (craniotomy). Namun, karena ruang ICU pascaoperasi di RS dr. Soebandi penuh, Dokter yang merawat Mistari menginstruksikan pemindahan ke ICU RSUD Waluyo Jati dan pemasangan intubasi.
“Akan tetapi, keluarga menolak tindakan intubasi dan tidak bersedia pasien dipindahkan ke ICU RSUD Waluyo Jati,” terang Yessi.
Alasan lain perlunya rujukan adalah ketersediaan dokter spesialis bedah saraf di RSUD Waluyo Jati yang hanya satu orang.
“Sebenarnya saat itu Dokter Abdi Spesialis Bedah Saraf sedang berada di Makasar yang tidak bisa ditinggal, sehingga pasien memang harus dirujuk,” ungkapnya.
Seluruh keputusan dan penolakan tindakan medis, termasuk penolakan rujukan dan penolakan tindakan resusitasi jantung paru (RJP) saat kondisi kritis, telah didokumentasikan sesuai prosedur. Pasien dinyatakan meninggal dunia pada 19 Oktober 2025 pukul 06.05 WIB.
“Kami tidak pernah ada penundaan pelayanan karena masalah administrasi. Seluruh keputusan dilakukan berdasarkan indikasi medis dan persetujuan keluarga,” tegasnya.
Untuk mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang, pihak rumah sakit berkomitmen untuk berupaya menambah dokter spesialis yang masih kurang dan meningkatkan pelayanan secara maksimal, demi memastikan seluruh pasien bisa dirawat secara intensif.

 
 
							











