New York, DetikNusantara.co.id – Sidang darurat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang digelar untuk membahas kerangka regulasi global kecerdasan buatan (AI) berubah menjadi ajang perdebatan sengit dan menunjukkan jurang pemisah yang signifikan antara negara-negara anggota. Usulan resolusi yang bertujuan untuk menciptakan badan pengawas AI internasional dan menetapkan standar etika serta keamanan yang mengikat secara global menuai penolakan keras dari sejumlah negara besar yang mengklaim kekhawatiran atas kedaulatan nasional dan potensi penghambatan inovasi.
Sidang yang berlangsung selama lebih dari sepuluh jam pada hari Sabtu (12/4) waktu setempat, diwarnai dengan adu argumen yang tajam antar delegasi. Negara-negara seperti Uni Eropa, Kanada, dan beberapa negara berkembang mendesak agar PBB segera mengambil tindakan tegas untuk mengatur perkembangan AI yang pesat. Mereka menyoroti potensi risiko yang ditimbulkan oleh AI, termasuk bias algoritmik, disinformasi massal, hilangnya pekerjaan secara signifikan, dan bahkan ancaman terhadap keamanan global melalui pengembangan senjata otonom.
“Kita tidak bisa lagi menunda. Perkembangan AI berjalan eksponensial dan tanpa kerangka kerja global yang jelas, kita berisiko kehilangan kendali atas teknologi yang berpotensi mengubah peradaban ini,” ujar Duta Besar Uni Eropa untuk PBB dalam pidatonya yang penuh semangat. “Resolusi ini bukan untuk menghambat inovasi, melainkan untuk memastikan bahwa inovasi tersebut berjalan secara bertanggung jawab dan untuk kepentingan seluruh umat manusia.”
Namun, pandangan tersebut ditentang keras oleh perwakilan dari Amerika Serikat, China, dan beberapa negara teknologi terkemuka lainnya. Mereka berpendapat bahwa regulasi yang terlalu ketat dan mengikat di tingkat global dapat menghambat kemajuan teknologi dan merugikan daya saing ekonomi. Mereka menekankan pentingnya pendekatan yang lebih fleksibel dan berbasis pada konsensus sukarela.
“Kami mengakui pentingnya membahas etika dan keamanan AI, tetapi kami percaya bahwa solusi yang paling efektif akan muncul dari kolaborasi lintas sektor dan inovasi yang berkelanjutan, bukan melalui birokrasi internasional yang kaku,” tegas Duta Besar AS untuk PBB. “Setiap upaya untuk memaksakan regulasi yang mengikat dapat menghambat perkembangan AI yang justru memiliki potensi besar untuk menyelesaikan tantangan global.”
Perdebatan semakin memanas ketika membahas isu pembentukan badan pengawas AI internasional. Negara-negara pendukung regulasi mengusulkan badan yang memiliki kewenangan untuk menetapkan standar, melakukan audit, dan bahkan memberikan sanksi bagi pelanggaran. Namun, negara-negara penentang melihat ini sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan nasional dan lebih memilih mekanisme koordinasi yang lebih longgar.
Sejumlah pakar hukum internasional dan etika teknologi yang hadir sebagai pengamat dalam sidang tersebut menyampaikan pandangan beragam. Beberapa mendukung perlunya kerangka kerja global yang kuat untuk mencegah “perlombaan senjata AI” dan memastikan bahwa teknologi ini digunakan untuk kebaikan bersama. Sementara yang lain memperingatkan risiko regulasi yang prematur dan berpotensi menghambat inovasi yang bermanfaat.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanda-tanda kompromi yang signifikan antara kedua kubu. Sidang darurat PBB dijadwalkan akan dilanjutkan pada hari Minggu dengan harapan dapat mencapai kesepakatan meskipun prospeknya terlihat sulit. Kegagalan dalam mencapai konsensus akan semakin memperlebar jurang regulasi AI antar negara dan berpotensi menciptakan lanskap pengembangan dan penggunaan AI yang terfragmentasi dan berisiko. Dunia kini menanti hasil akhir dari perdebatan krusial ini, yang akan menentukan arah perkembangan AI global di masa depan.
Reporter: Ernawati