Nasional

Tragedi Al Khoziny, 49 Nyawa Dijemput Maut, Dosa di Balik Konstruksi yang Harus Dicegah

×

Tragedi Al Khoziny, 49 Nyawa Dijemput Maut, Dosa di Balik Konstruksi yang Harus Dicegah

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

SIDOARJO,DetikNusantara.co.id – Satu unit breaker ekskavator penghancur beton dan dua bucket excavator berbagi tugas membersihkan puing material robohnya gedung musala pondok pesantren Al Khoziny, Buduran, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, hingga Minggu (5/10/2025) malam, sudah ada 49 santri yang ditemukan meninggal dunia akibat reruntuhan bangunan.

Namun, ada hal yang sangat masuk akal dsri ambruknya bangunan atau musjala di Ponpes Al Khoziny tersebut sehingga banyak memakan korban jiwa akibat kontruksi yang mungkin tidak sesuai spek profesional.

Seperti disampaikan Anggota DPR RI Komisi V dari Fraksi PKB, Sudjatmiko, bahwa kejadian di Sidoarjo, menjadi pelajaran mahal nyawa tidak boleh lagi menjadi taruhan atas pembangunan yang dilakukan tanpa perencanaan memadai dan pengawasan profesional.

“Ambruknya fasilitas pendidikan, khususnya pesantren yang menampung ratusan santri, kerap kali buru-buru dilabeli sebagai “takdir” atau “musibah alamiah,” kata dia dalam suara yang beredar di media sosial Minggu (5/10/2025).

Padahal, analisis Sudjatmiko dari perspektif teknik sipil menegaskan bahwa akar masalah justru terletak pada kegagalan konstruksi yang sebenarnya bisa dicegah.

Empat Dosa Konstruksi yang Mengancam Keselamatan

Kegagalan struktur, terutama pada bangunan swadaya seperti pesantren atau fasilitas komunitas, memiliki pola yang berulang dan sistematis.

Sudjatmiko mengidentifikasi empat faktor utama yang berkontribusi pada kerentanan ini:

Pertama, perencanaan struktur yang lemah. Banyak pembangunan swadaya dilakukan tanpa melibatkan tenaga ahli teknik sipil bersertifikat.

Kedua, material yang tidak memadai. Untuk menekan anggaran, pengembang swadaya sering mengganti material konstruksi, seperti baja tulangan, semen, atau pasir, dengan kualitas yang jauh di bawah spesifikasi teknis.

Kualitas rendah ini secara langsung melemahkan daya dukung fundamental bangunan. Ketiga, minimnya pengawasan profesional. Tahap eksekusi di lapangan tidak diawasi oleh insinyur sipil bersertifikat.

Keempat, mengabaikan kondisi tanah (kajian geoteknik). Banyak pihak yang tidak melakukan kajian geoteknik terhadap struktur tanah. Kasus Sidoarjo, yang sebagian besar memiliki kontur tanah lunak, menuntut desain pondasi yang kuat dan khusus.

Tanpa kajian ini, bangunan rentan mengalami amblas, retak, atau miring sebelum mencapai usia strukturalnya.

Hingga saat ini, dari laman resmi BNPB menyenutkan, dari hasil pendataan sementara para hari Minggu (5/10) sejak pukul 00.00 WIB sampai pukul 23.30 WIB, sebanyak 24 jenazah telah ditemukan, termasuk empat potongan tubuh manusia.

“Data ini menambah akumulasi data korban meninggal dunia menjadi 49 orang, sedangkan jumlah bagian tubuh yang ditemukan menjadi lima potongan. Seluruh jenazah dan bagian tubuh itu telah dibawa ke Rumah Sakit (RS) Bhayangkara, Surabaya untuk diidentifikasi,” ungkap Kepala BNPB Letjen Suharyanto.

Berdasarkan temuan jenazah di atas, jumlah korban dalam pencarian pun menyusut menjadi 14 orang. Sedangkan jumlah yang telah ditemukan dalam kondisi selamat ada sebanyak 104 orang, di mana sebanyak 6 masih dalam perawatan secara intensif, 97 orang sudah selesai perawatan dan satu orang kembali ke rumah tanpa perawatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *