Tuban – Kisah memilukan datang dari seorang siswi berinisial “F” yang sebelumnya merupakan pelajar aktif di MTS Muhammadiyah 1 Karangagung, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. F menjadi korban perundungan dan tekanan psikologis berat akibat beredarnya sebuah video tidak senonoh yang diduga menggunakan modus manipulasi digital serupa dengan kasus viral yang menyeret nama seorang guru wanita berinisial S di Ambulu, Jember.
Ayah F, Farid, akhirnya angkat bicara kepada media setelah menyaksikan sendiri kehancuran mental putrinya yang kini bahkan tak lagi mau melanjutkan sekolah. Menurut penuturan Farid, kejadian berawal dari tersebarnya video tidak senonoh yang menyertakan wajah anaknya. Video tersebut ternyata tersebar ke setidaknya tiga teman sekolah F. Tidak diketahui secara pasti siapa penyebar pertama video tersebut, namun efeknya langsung terasa: F menjadi bahan ejekan dan perundungan.
“Saya awalnya tidak tahu. Anak saya berubah. Pendiam, tidak ceria. Saya pikir hanya karena lelah sekolah. Tapi ternyata dia sedang diserang mentalnya di sekolah,” ungkap Farid dengan suara berat.
Menurut keterangan Farid, setelah tiga temannya mengetahui dan menyebarkan kabar mengenai video tersebut, guru-guru di sekolah pun turut mengetahui. Namun, bukannya memberikan perlindungan atau pendampingan psikologis sebagaimana mestinya, dua orang guru justru memanggil dan ‘menyidang’ F pada minggu pertama setelah libur lebaran 2025. Dalam sidang internal tersebut, F ditekan dengan pertanyaan-pertanyaan menohok dan bahkan sempat diancam akan dibawa ke jalur hukum dan ditangkap polisi.
“Anak saya pulang dari sekolah dalam kondisi menangis histeris. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Begitu saya tenangkan, dia hanya bilang: ‘Aku ditakut-takuti akan ditangkap polisi’. Bayangkan, anak usia belasan tahun ditekan seperti itu,” ujar Farid.
Setelah insiden tersebut, kondisi F semakin memburuk. Dia menutup diri selama empat hari penuh di dalam rumah, tidak mau berbicara, tidak mau makan, dan menunjukkan tanda-tanda depresi berat. Sebelumnya, selama hampir dua bulan F sudah harus menahan perundungan dari teman-temannya. Tapi saat disidang oleh guru-gurunya—sosok yang seharusnya menjadi pelindung dan pendidik—F tak sanggup lagi menahan beban mental.
Sejak hari itu, F menolak kembali ke sekolah.
Ironisnya, beberapa hari kemudian Farid mendapat undangan tidak resmi dari guru sekolah. Mereka mengajaknya bertemu di sebuah kafe. Dalam pertemuan tersebut, salah satu guru menyampaikan hasil rapat dewan guru bahwa F dinyatakan dikeluarkan dari sekolah.
Farid mengaku sangat kecewa dan tidak menerima keputusan tersebut, terlebih karena selama proses penyidikan internal itu, dirinya selaku orangtua tidak pernah diberi tahu atau diajak berkoordinasi. Menurutnya, anaknya justru menjadi korban dalam kasus ini, bukan pelaku.
“Kalau pun ada video itu, seharusnya kan ditelusuri dulu asal-usulnya. Anaknya ini korban. Bukan dia yang buat atau menyebarkan. Harusnya ditangani dengan empati dan profesionalisme, bukan justru dihakimi seperti pelaku kriminal,” ucap Farid, menahan emosi.
Farid juga mengungkap bahwa hingga saat ini, putrinya F masih mengalami trauma mendalam. Ia sering menangis tiba-tiba, sulit tidur, dan menghindari percakapan dengan siapa pun, termasuk keluarganya sendiri.
“Saya sebagai orangtua merasa gagal. Saya bingung harus bagaimana. Saya ingin anak saya kembali ceria, kembali percaya diri, dan bisa sekolah lagi. Tapi bagaimana caranya memulihkan anak saya kalau sekolah yang harusnya mendidik justru membuat dia merasa terhina dan ditinggalkan?” ujarnya lirih.
Kasus ini menambah deretan panjang masalah bullying dan kurangnya pendampingan psikologis di lingkungan pendidikan. Banyak pihak kini mempertanyakan bagaimana mekanisme penanganan kasus sensitif seperti ini di sekolah-sekolah, dan apakah guru telah dibekali pelatihan yang cukup untuk menangani anak-anak yang menjadi korban trauma.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak MTS Muhammadiyah 1 Karangagung Palang terkait keputusan pemecatan terhadap F sebagai siswi maupun proses “persidangan” internal yang dilakukan tanpa pendampingan orangtua.
Namun, wartawan media ini sempat ditelpon salah satu guru yang minta namanya tidak dipublikasikan. Sang Guru berinisial “i” ini mengatakan bahwa siswi F adalah murid kesayangan para guru. Keputusan untuk mengeluarkan F dari sekolah adalah niat baik agar skandal F tidak terus-terusan jadi perbincangan di sekolah.
Sementara itu Farid sebagai orangtua F berharap ada keadilan untuk anaknya, serta adanya dukungan dari lembaga pendidikan atau pemerintah untuk membantunya memulihkan kondisi mental F.
“Anak saya butuh bantuan. Jangan sampai ada lagi anak-anak yang diperlakukan seperti ini hanya karena kurangnya pemahaman dan empati dari lingkungan sekolah,” tutup Farid dengan nada penuh harap. (r1ck)