Probolinggo, detiknusantara.co.id – Fenomena penahanan ijazah oleh sekolah swasta, akibat tunggakan biaya pendidikan merupakan persoalan klasik yang berada di persimpangan antara perlindungan hak pendidikan siswa dan keberlanjutan finansial satuan pendidikan swasta. Secara normatif, tindakan penahanan ijazah telah memperoleh larangan eksplisit melalui Pasal 9 ayat (2) Peraturan Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Nomor 1 Tahun 2022, yang menyatakan secara kategoris:
“Satuan pendidikan dan Dinas Pendidikan tidak diperkenankan untuk menahan atau tidak memberikan Ijazah kepada pemilik Ijazah yang sah dengan alasan apapun.”
Konstruksi norma tersebut bersifat imperatif (dwingend recht), bukan sekadar anjuran, sehingga tidak memberikan ruang interpretatif bagi sekolah untuk melakukan modifikasi atau penundaan penyerahan ijazah. Dalam teori hukum administrasi, larangan ini dapat dikualifikasikan sebagai prohibition norm yang mengikat seluruh badan penyelenggara pendidikan, baik negeri maupun swasta, karena fungsi pelayanan pendidikan merupakan bagian dari public service obligation.
Ijazah bukanlah benda privat, melainkan dokumen yang menjadi hal peserta didik yang memiliki status sebagai public certificate, yaitu bukti autentik atas capaian kompetensi peserta didik. Dalam perspektif hukum perdata, ijazah tidak dapat diperlakukan sebagai objek jaminan, agunan, atau retentioned goods. Dengan demikian, menjadikan ijazah sebagai sarana penagihan merupakan bentuk misuse of authority dan bertentangan dengan asas contrarius actus, karena kewenangan menerbitkan ijazah adalah bagian dari mandat negara yang tidak dapat disubordinasikan oleh motif finansial institusi.
Dalam kerangka hak asasi manusia, hak memperoleh ijazah merupakan kelanjutan dari hak atas pendidikan sebagaimana dijamin dalam: Pasal 31 UUD 1945, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan normative guarantees yang ditegaskan dalam berbagai instrumen internasional seperti ICESCR.
Penahanan ijazah, meskipun dilakukan oleh sekolah swasta, berpotensi menghambat mobilitas sosial, akses pekerjaan, dan keberlanjutan pendidikan siswa. Dalam teori keadilan Rawlsian, tindakan tersebut gagal memenuhi prinsip fair equality of opportunity.
Di sisi lain, sekolah swasta beroperasi dalam situasi ekonomi yang berbeda dengan sekolah negeri. Banyak sekolah swasta bergantung pada iuran peserta didik untuk membiayai: gaji pendidik dan tenaga kependidikan, biaya operasional, pemeliharaan sarana, serta kegiatan pembelajaran.
Ketika terjadi tunggakan berjalan yang signifikan, keberlanjutan lembaga menjadi terancam. Dalam perspektif institutional survival, sekolah swasta menghadapi dilema: tunduk pada regulasi yang melarang penahanan ijazah, namun sekaligus menanggung risiko finansial yang nyata.
Persoalan ini menggambarkan ketidakseimbangan struktur regulatif, di mana negara mewajibkan pendidikan swasta untuk menjalankan mandat pelayanan publik, tetapi pada saat yang sama belum memberikan instrumen yang cukup untuk menjamin keberlanjutan finansial mereka.
Lantas apa solusi normatif dan praktisnya???
Pertama, Rekonstruksi Mekanisme Penagihan melalui Perikatan Perdata. Sekolah dapat menggunakan instrumen hukum perdata seperti: perjanjian cicilan (installment agreement), pengakuan utang (acknowledgement of debt), atau skema rescheduling.
Instrumen ini menghormati hak siswa namun tetap memberikan dasar hukum yang kuat bagi sekolah dalam melakukan penagihan.
Kedua, Diversifikasi Sumber Pendanaan Sekolah Swasta. Negara perlu membuka ruang pembiayaan melalui: perluasan akses BOS bagi sekolah swasta, insentif bantuan operasional daerah, kemitraan industri (terlebih bagi SMK), serta skema corporate social responsibility. Dengan demikian ketergantungan absolut pada iuran siswa dapat dikurangi.
Ketiga, Penguatan Fungsi Mediasi dan Pengawasan oleh Dinas Pendidikan. Dinas Pendidikan dapat membentuk: Education Dispute Resolution Unit untuk memediasi sengketa biaya tanpa merugikan siswa, sekaligus mengatur standar kelayakan biaya agar tidak memberatkan keluarga kurang mampu.
Keempat, Mekanisme Perdata Formal untuk Kasus Tunggakan Besar. Untuk kasus orang tua yang mampu namun tidak kooperatif, sekolah dapat menempuh jalur gugatan wanprestasi. Jalur ini lebih tepat dibanding menggunakan ijazah sebagai objek tekanan, karena sejalan dengan asas legalitas.
Kelima, Kebijakan Zero Retention of Ijazah dengan Zero Negligence of Obligations. Artinya: Sekolah wajib menyerahkan ijazah tanpa syarat, tetapi siswa/orang tua tetap wajib memenuhi kewajiban finansial melalui mekanisme yuridis yang sah.
Penahanan ijazah merupakan tindakan yang secara normatif dilarang, secara konseptual bertentangan dengan karakter ijazah sebagai dokumen publik, dan secara moral berpotensi menghambat masa depan peserta didik. Namun, beban finansial yang dihadapi sekolah swasta juga merupakan persoalan struktural yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, solusi harus dibangun dalam perspektif dua arah, yaitu perlindungan hak siswa sekaligus keberlanjutan institusional sekolah.
Pendekatan hukum yang paling tepat adalah berpindah dari model koersif yang melanggar norma (penahanan ijazah) menuju model legal-prosedural melalui perikatan perdata, diversifikasi pendanaan, dan mediasi institusional, sehingga hak pendidikan tetap terjaga dan sekolah swasta tetap dapat berfungsi secara berkelanjutan.
JEMBER – Pemandangan penuh semangat dan kebersamaan terlihat di Lapangan Sumberanget, Kecamatan Ledokombo, Kabupaten Jember,…
SUMENEP, Detiknusantara.co.id – Kepolisian Resor (Polres) Sumenep kembali mempertegas komitmennya dalam menjaga ketertiban umum dan…
PROBOLINGGO, DetikNusantara.co.id – Konferensi Cabang (Konfercab) IV Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kraksaan yang…
PROBOLINGGO, DetikNusantara.co.id – Peringatan Hari Amal Bakti (HAB) ke-80 Kementerian Agama (Kemenag) di Kabupaten Probolinggo…
BANYUWANGI – Maraknya penggunaan jaringan wifi ilegal di berbagai kecamatan di Banyuwangi mendapat sorotan tajam…
LUMAJANG, DetikNusantara.co.id – Akademi PSIL yang baru berdiri sejak Desember 2024 terus menunjukkan keseriusan dalam…