SUMENEP, DetikNusantara.co.id – Kejaksaan Tinggi Jawa Timur disorot terkait penanganan dugaan tindak pidana korupsi dana kapitasi di Dinas Kesehatan P2KB Sumenep. Pasalnya, pelapor kasus tersebut hingga saat ini tidak pernah menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), yang dinilai melanggar prinsip hukum. Selasa (23/04/2025).
Informasi yang dihimpun media ini dari sumber internal Dinas Kesehatan Sumenep yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan adanya dugaan penyelesaian kasus tersebut melalui cara yang tidak transparan.
Menanggapi hal ini, pakar hukum asal Sumenep, Syaiful Bahri, S.H., menyatakan adanya kejanggalan dan ketidakprofesionalan pada pihak Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Jatim dalam menghentikan penanganan kasus dugaan korupsi dana kapitasi Dinkes P2KB Sumenep.
Menurut pria yang akrab disapa Ipung ini, alasan Kejati Jatim menghentikan kasus yang sebelumnya telah memasuki tahap pengumpulan bahan keterangan dan data (pulbaket dan puldata) terasa ganjil.
Pelapor mengungkapkan, saat beberapa kali melakukan konfirmasi, pihak Kejati selalu menyampaikan bahwa proses pulbaket sedang berjalan dan akan memasuki tahap kesimpulan melalui petugas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kejati Jatim. Namun, pelapor dan saksi korban justru tidak pernah dipanggil untuk dimintai keterangan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar terkait kinerja Pidsus Kejati Jatim.
Lebih lanjut, pelapor mengaku terkejut ketika tiba-tiba menerima informasi lisan dari Kejati Jatim bahwa hasil pulbaket dan puldata tidak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan. Pemberitahuan ini pun tidak disertai dengan surat resmi (SP2HP).
Atas dasar itu, Ipung menilai bahwa penegakan hukum di Indonesia, khususnya di Kejati Jatim, terkesan “digadaikan” kepada terduga pelaku korupsi. Ia menyoroti fakta bahwa hingga kini pelapor dan saksi korban tidak pernah dipanggil dan diperiksa oleh pihak kejati yang menangani perkara ini, serta tidak diterimanya SP2HP oleh pelapor.
Ipung menegaskan bahwa SP2HP merupakan hak pelapor sebagai wujud akuntabilitas dan transparansi penyelidikan atau penyidikan. Penyidik wajib memberikan SP2HP secara berkala, baik diminta maupun tidak.
“Jadi, saya menduga Pidsus Kejati Jatim ‘masuk angin’ dalam penanganan kasus dana kapitasi ini. Secara prinsip, pelapor berhak mengetahui perkembangan penanganan laporannya. Jika penyelidikan dihentikan, pelapor wajib diberitahu karena itu merupakan hak partisipasi warga dalam pemberantasan korupsi. Pelapor tidak harus meminta baru ada respons. Oleh karena itu, saya menyarankan pelapor untuk mengajukan keberatan atas penghentian penyelidikan tersebut ke Kejati, dengan tembusan kepada Jaksa Agung, Jamwas, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” tegas pengacara dari PERADI Madura Raya ini.
Ia menambahkan bahwa pemberitahuan yang tidak resmi dari Pidsus kepada pelapor jelas bertentangan dengan prinsip transparansi dan keadilan hukum. Jika hal ini dibiarkan, oknum-oknum yang melakukan korupsi akan semakin merajalela.
“Saya mendukung pelapor untuk melangkah ke Kejaksaan Agung, bahkan jika perlu ke Presiden, agar oknum-oknum yang terlibat dalam kasus ini diadili tanpa pandang bulu,” tandasnya.
Sementara itu, Kejati Jatim melalui PTSP membenarkan adanya penghentian penanganan kasus tersebut.
“Selamat pagi bapak/ibu, Petunjuk dari bidang pidsus terkait lapdu sudah ditindaklanjuti dengan pengumpulan data dan bahan keterangan, hasilnya tidak dapat ditingkatkan ke tahap penyelidikan/dihentikan,” demikian jawaban PTSP Kejati Jatim melalui pesan WhatsApp.